Melanjuti dari berziarah ke makam Buju Lembung beberapa waktu yang lalu, maka kali ini lanjut berkunjung ke makam Bujuk Pejaten yang lokasinya berada di desa Brungbung, Gunung Sereng, Kwanyar, Kab. Bangkalan, Kamis (02/06/23).
Keinginan untuk sekedar berkunjung ke makam sekaligus berziarah ke makam dimulai sejak saya mendapati informasi bahwa bujuk Pajaten merupakan keturunan dari Bujuk Lembung, putra dari kyai Abdullah bin Khotib Mantoh dan Nyai Aminah binti Sunan Cendana.
Secara terpisah, saya pun kemudian menjadwalkan diri berkunjung ke makam Bujuk Pejaten (nama aslinya Muhibbuddin). Kunjungan kali ini merupakan kunjungan pertama kali bagi saya.
Menggunakan kendaraan sepeda motor, akhirnya kami pun sampai di lokasi. Rasa takjub, saya rasakan ketika melihat area pemakaman Bujuk Pejaten pasalnya tersemat di di dalam hati dengan titel Bujuk, semasa hidup beliau pasti merupakan salah satu orang shalih, orang yang alim.
Kami pun berziarah dan berdo’a kepada Allah semoga keturunan-keturunan kami semua menjadi anak yang shalih-shalihah serta selalu ingat dengan yang namanya kematian sehingga setiap beraktifitas selalu ingat kepada Allah, tuhan yang menghidup dan mematikan hambanya.
Sekira lima belas menit saya berziarah, kemudian saya melihat sekitar makam yang mungkin bisa dijadikan sebagai informasi penting terkait Bujuk Pejaten. Saya tidak menemukan papan silsilah dan kapan dimakamnya Bujuk Pajaten.
Sementara itu, fasilitas sekitar makam yang bisa digunakan oleh pengunjung misalnya masjid Pejaten yang berdekatan dengan area makam. Selain itu, keberadaan cungkup makam bisa melindungi para peziarah dari terik sinar matahari atau pun hujan.
Dalam hal ini, tentu berbeda dengan makam-makam yang notabene makam biasa. Makam Bujuk Pajaten dianggap sebagai makam keramat sehingga makam dimodif berbeda. Terkait sejarah Bujuk Pejaten ini, saya pribadi merasa penting untuk saya ketahui.
Berdasarkan berbagai sumber saya dapatkan, baik dalam bentuk tulisan atau pun sekedar cerita turun temurun, semasa hidup Bujuk Pajaten, beliau tinggal di desa setempat. Kemudian setelah meninggal, keturunan-keturunan beliau tidak bisa melanjutkan perjuangan syiar Islam.
Sehingga sepeninggal Bujuk Pejaten, sedikit bahkan nyaris tidak ada kyai / ulama di desa setempat yang mampu menuntun masyarakatnya dekat kepada Allah. Akhirnya, tempat bersyiarnya bujuk dijadikan sebagai tempat maksiat seperti tempat mabuk-mabukan dan bahkan judi.
Kemudian pada suatu malam, terjadi suatu kejadian yang menggemparkan masyarakat setempat. Tempat (langgar) yang dijadikan tempat maksimat tersebut tiba-tiba bergerak dan terbang seakan-akan mengisyaratkan bahwa tempat tersebut tidak rela dijadikan tempat maksiat.
Akhirnya, langgar tersebut berpindah tempat ke daerah Brungbung Dajah, utaranya tempat kejadian. beredar pula langgar tersebut masih bisa disaksikan masyarakat dan baru kemudian dijadikan sebagai lokasi masjid oleh masyarakat setepat.
Itulah sekelumit cerita Bujuk Pejaten. Jika kemudian ada koreksi bisa ditulis di kolom komentar ya. Saya tutup cerita singkat dan pengalaman saya berkunjung ke makam Bujuk Pejaten. Sampai jumpa dikunjungan ziarah ke makam-makam lainnya. (Wallahu A’lam Bishawab).
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar...